Teknologi digital forensic belakangan mencuat dalam perdebatan politik Indonesia, khususnya terkait metode Error Level Analysis (ELA) yang digunakan untuk meragukan keaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Analisis ELA yang semula dikenal dalam ranah akademis dan investigasi digital kini menjadi sorotan publik akibat pernyataan sejumlah tokoh, termasuk Roy Suryo dan akademisi teknik Rismon Simanjuntak. Mereka mengklaim hasil ELA menunjukkan indikasi manipulasi pada dokumen digital ijazah Jokowi.
Mengenal Lebih Dekat Teknologi Error Level Analysis
Error Level Analysis (ELA) adalah metode dalam bidang digital forensic yang digunakan untuk menelusuri potensi rekayasa gambar digital, terutama format JPEG. Teknik ini melibatkan proses penyimpanan ulang gambar dengan tingkat kompresi tertentu dan kemudian membandingkan hasilnya untuk melihat perbedaan tingkat kompresi di berbagai area gambar. Bagian yang berbeda kompresi secara signifikan bisa menjadi petunjuk bahwa gambar tersebut pernah dimodifikasi.
Namun, penting untuk dipahami bahwa ELA hanya mendeteksi anomali kompresi, bukan penentu sah tidaknya sebuah dokumen. Ia ibarat alat bantu pembesar, bukan pengadilan. Karenanya, penggunaan ELA dalam menilai validitas dokumen resmi seperti ijazah, apalagi tanpa dokumen asli atau konteks jelas, bisa menghasilkan interpretasi keliru yang berisiko memicu kesimpulan menyesatkan.
Perdebatan Seputar Ijazah Jokowi dan Validitas Bukti Digital
Kontroversi ijazah Presiden Jokowi mencuat ketika hasil scan dokumen yang beredar dinyatakan telah mengalami editing digital. Padahal, file JPEG hasil pemindaian bukan representasi valid dari dokumen fisik kecuali disertai sumber sah seperti pemilik atau institusi pendidikan bersangkutan. Tanpa metadata dan informasi kontekstual lainnya, hasil ELA menjadi rentan disalahartikan.
Lebih parah lagi, file digital yang telah melalui proses kompresi ulang, pemotongan, atau pengunggahan berkali-kali dapat menunjukkan artefak kompresi yang menyesatkan. Hal tersebut bukan karena niat manipulasi, melainkan efek dari proses teknis pengolahan gambar yang umum terjadi di media sosial atau platform daring.
Klaim 99,9 Persen Tidak Asli: Validkah Secara Ilmiah?
Pernyataan Roy Suryo yang menyebut bahwa hasil analisis ELA menunjukkan ijazah Jokowi “99,9 persen tidak asli” memicu kontroversi lebih luas. Sayangnya, hingga saat ini belum ada publikasi metodologi terbuka dari pihaknya. Tanpa dokumentasi lengkap, termasuk software yang digunakan, sampel pembanding, atau validasi independen, klaim tersebut belum memenuhi standar akademis atau forensik.
Bahkan dalam jurnal internasional seperti IEEE atau MDPI, ELA tidak pernah dipakai sebagai satu-satunya dasar kesimpulan. Dunia akademik dan hukum cenderung melihat ELA sebagai alat bantu, bukan bukti mutlak. Tanpa transparansi metodologis, angka 99,9 persen itu lebih menyerupai sensasi ketimbang bukti ilmiah yang bisa diuji ulang oleh pihak lain.
Posisi ELA di Ranah Hukum Internasional
Dalam sistem hukum negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Inggris, ELA tidak berdiri sendiri dalam proses pengadilan. Sebagai teknik pendukung, ELA biasanya digunakan bersama analisis metadata, hash digital, histogram pixel, hingga pengujian rantai bukti. Ini dilakukan agar analisis lebih menyeluruh dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Menggunakan ELA secara tunggal, tanpa dukungan data lain, jarang diterima dalam persidangan. Di Indonesia, jika ELA dijadikan dasar tuntutan atau alat politik, pertanyaannya: apakah bukti lain telah dihadirkan secara sah dan menyeluruh? Jika tidak, maka keabsahan penggunaan ELA dalam debat politik ini patut diragukan.
Antara Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Politik
Penggunaan teknologi dalam pengawasan kekuasaan adalah langkah baik, selama dilakukan secara benar dan ilmiah. Namun, jika metode ilmiah diseret ke arena politik tanpa dasar yang jelas, maka yang terjadi bukan pencarian kebenaran, melainkan penggiringan opini. Etika publik menuntut akurasi, bukan hanya kehebohan semata.
Memanfaatkan sains sebagai alat tekanan politik tanpa prosedur transparan dan dukungan bukti otentik hanya akan melemahkan kepercayaan publik terhadap sains itu sendiri. Apalagi, jika digunakan untuk menyerang karakter pribadi seorang pejabat negara, ini bisa menimbulkan konsekuensi sosial dan politik yang tidak sehat.
Kebutuhan Akan Transparansi dan Verifikasi Data
Dalam investigasi berbasis digital, transparansi adalah fondasi utama. Klaim yang tidak dibarengi dengan data lengkap, verifikasi pakar independen, dan keterbukaan prosedur akan mudah dipatahkan. Untuk membuktikan keaslian dokumen, yang dibutuhkan adalah dokumen fisik dan analisis forensik dari ahli yang diakui.
Verifikasi publik akan menjadi dasar kepercayaan masyarakat. Bukan dari narasi sepihak, melainkan dari proses yang dapat diaudit secara terbuka. Sebagaimana diberitakan Kompas.com, isu ini sudah menimbulkan kegaduhan yang seharusnya bisa dihindari jika pendekatan ilmiah dijalankan secara transparan.
Kebenaran Bukan Soal Narasi, Tapi Bukti
Pada akhirnya, sains tidak membutuhkan panggung megah atau narasi bombastis. Ia hanya butuh bukti dan metodologi yang jelas. Jika benar ingin menguji keabsahan sebuah ijazah, maka bawalah dokumen asli, libatkan ahli dokumen resmi, dan sampaikan secara terbuka kepada publik. Inilah cara kerja dunia ilmiah yang sahih.
Menjadikan ELA sebagai bukti utama tanpa landasan valid hanya akan memperkeruh suasana. Jangan biarkan opini mendahului fakta. Kebenaran tidak datang dari siapa yang paling keras berbicara, tapi dari siapa yang paling berani membuka data dan prosedur. Itulah prinsip utama integritas ilmiah dan demokrasi.