Iklan

Kesepakatan Dagang Indonesia-AS di Era Trump: Untung atau Taktik Politik?

Sabtu, 19 Juli 2025, 10:56 WIB Last Updated 2025-07-19T03:56:43Z
Kesepakatan Dagang Indonesia-AS di Era Trump: Untung atau Taktik Politik?

Trump Umumkan Tarif Baru Lewat Truth Social

Pada 16 Juli 2025, Donald Trump kembali menjadi sorotan internasional dengan pengumuman mengejutkan melalui platform Truth Social miliknya. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia kini akan dikenakan tarif tetap sebesar 19% untuk semua ekspor ke Amerika Serikat, menggantikan ancaman awal yang mencapai 32%. Trump menyebut keputusan ini sebagai hasil negosiasi yang luar biasa dan menyebut kesepakatan ini sebagai "a perfect deal—for everyone."

Dalam paket kesepakatan tersebut, Indonesia sepakat untuk membeli 50 unit pesawat Boeing, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, serta energi dari AS senilai US$15 miliar. Klaim Trump ini lantas memunculkan banyak pertanyaan. Benarkah perjanjian tersebut saling menguntungkan? Atau hanya sekadar manuver politik menjelang pemilu? Untuk memahami dampaknya, penting meninjau data perdagangan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir.

Potret Neraca Perdagangan Lima Tahun Terakhir

Selama periode 2020 hingga 2024, neraca perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat terus menunjukkan surplus yang signifikan. Ekspor ke AS bahkan sempat mencapai puncaknya pada tahun 2022 sebesar US$29 miliar sebelum turun ke US$26,3 miliar pada tahun 2024. Sebaliknya, angka impor dari AS ke Indonesia nyaris stagnan di sekitar US$11 miliar per tahun.

Akumulasi dari keseluruhan periode tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mencatat surplus sekitar US$74 miliar. Capaian ini menjadi catatan penting dalam narasi perdagangan global, terutama karena surplus tersebut diamati secara serius oleh pemerintahan Trump. Tak heran jika kebijakan baru ini bisa dilihat sebagai upaya merespons surplus perdagangan yang dianggap “tidak adil” oleh AS.

Pembelian Boeing dan Komitmen Tambahan Indonesia

Sebagai bagian dari kompromi tarif, Indonesia menyetujui pembelian besar-besaran dari Amerika Serikat. Ini termasuk 50 unit pesawat Boeing, serta produk pertanian dan energi senilai miliaran dolar. Trump menyambut kesepakatan ini dengan antusias, menyebutnya sebagai kemenangan besar bagi ekonomi Amerika.

Namun, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa pembelian Boeing bukanlah bentuk tekanan politik, melainkan bagian dari strategi nasional untuk memperbarui armada Garuda Indonesia. Ia menekankan bahwa modernisasi armada penerbangan penting untuk menopang sektor pariwisata dan logistik nasional yang terus berkembang hingga 2040 mendatang.

Klaim Trump Dipertanyakan: Tinjauan Analis Independen

Tak lama setelah pengumuman Trump, seorang analis independen bernama Nick mengunggah video yang membongkar sejumlah klaim dalam kesepakatan tersebut. Pertama, terkait nilai impor energi sebesar US$15 miliar dari Amerika. Ternyata, angka itu sudah terjadi pada tahun 2024, bahkan lebih besar setengah miliar dolar dari yang disebutkan Trump saat ini.

Nick juga mengungkap bahwa pembelian 50 pesawat Boeing adalah hasil dari kesepakatan sebelumnya di era pemerintahan Biden, bukan hasil negosiasi baru. Trump dinilai hanya mengambil keuntungan dari waktu pengumuman yang strategis dan menyematkan namanya pada kesepakatan yang sebenarnya telah dirancang jauh sebelumnya.

Siapa yang Sebenarnya Membayar Tarif Baru?

Trump menyebut bahwa dengan tarif tetap 19%, Amerika tidak membayar apa-apa, sedangkan Indonesia menanggung semua biaya. Namun, dalam praktik perdagangan internasional, tarif dibayarkan oleh importir di negara tujuan—dalam hal ini, perusahaan AS. Artinya, beban biaya tarif tersebut kemungkinan besar akan diteruskan kepada konsumen Amerika.

Sementara itu, produk-produk dari Amerika masuk ke Indonesia tanpa adanya penambahan tarif baru. Dalam konteks ini, sebenarnya konsumen AS yang akan mengalami kenaikan harga barang impor dari Indonesia, sedangkan produk AS menikmati kemudahan masuk ke pasar dalam negeri. Ini menimbulkan keraguan: apakah kesepakatan ini benar-benar adil seperti yang diklaim Trump?

Simbolisme Politik dan Strategi Prabowo

Dalam konferensi pers setelah kunjungan luar negerinya, Presiden Prabowo menegaskan bahwa keputusan membeli pesawat Boeing didasarkan pada kebutuhan jangka panjang Indonesia. Ia menolak anggapan bahwa pembelian tersebut merupakan bentuk tekanan dari Amerika Serikat. Fokus utama, menurut Prabowo, adalah pemulihan maskapai nasional Garuda Indonesia.

Namun, publik dan pengamat kebijakan ekonomi bertanya-tanya mengenai rincian kesepakatan tersebut. Apakah ada komitmen offset seperti pembangunan fasilitas produksi Boeing di Indonesia? Atau sekadar transaksi jual beli biasa tanpa keuntungan jangka panjang bagi industri penerbangan nasional? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menunggu jawaban dari pemerintah.

Ancaman Transshipment dan Pasal Tersembunyi

Salah satu poin penting yang tersirat dari pernyataan Trump adalah kecurigaan terhadap praktik transshipment oleh Indonesia. Ia menyatakan bahwa jika Indonesia terbukti menjadi jalur pintas bagi barang-barang China, maka Amerika Serikat berhak menaikkan tarif secara sepihak. Hal ini menandakan bahwa perjanjian tersebut bersifat asimetris dan lebih mengikat Indonesia.

Transshipment sendiri adalah praktik umum dalam rantai pasok global, namun jika dimanfaatkan sebagai celah untuk menghindari tarif, bisa memicu ketegangan dagang. Ancaman ini memperlihatkan bahwa perjanjian ini menyimpan potensi risiko besar jika tidak dikawal secara cermat. Transparansi dan pengawasan ketat sangat diperlukan agar kepentingan nasional tidak dikorbankan.

Masa Depan Kesepakatan: Retorika atau Realitas?

Kesepakatan dagang yang diumumkan dengan penuh semangat oleh kedua belah pihak ini menyimpan banyak tanda tanya. Dari sisi Indonesia, pembelian besar dari Amerika bisa berdampak positif jika dibarengi dengan transfer teknologi dan nilai tambah ekonomi. Namun, tanpa transparansi perjanjian, publik sulit menilai sejauh mana kesepakatan ini menguntungkan secara nasional.

Di sisi lain, Trump tampaknya menggunakan kesepakatan ini sebagai alat politik untuk menunjukkan keberhasilannya menjelang pemilu. Dalam dunia politik modern, narasi dan pencitraan sering kali mendahului fakta. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk membuka seluruh rincian perjanjian dan memastikan bahwa keuntungan jangka panjang benar-benar berpihak pada rakyat.

Komentar

Tampilkan

Terkini