Iklan

Drone dan Perang Modern: Kritik Tajam atas Kekuasaan yang Disterilkan

Senin, 07 Juli 2025, 16:27 WIB Last Updated 2025-07-07T09:27:46Z
Drone dan Perang Modern

Transformasi Perang di Era Digital

Perkembangan teknologi telah mengubah wajah peperangan secara mendasar. Dalam bukunya Drone Theory, filsuf politik Prancis Grégoire Chamayou mengkritisi pergeseran paradigma kekuasaan yang kini dijalankan lewat teknologi, terutama penggunaan drone. Bukan sekadar alat militer, drone hadir sebagai manifestasi kekuasaan yang dioperasikan dari jarak ribuan kilometer, tanpa keterlibatan langsung pelakunya di medan tempur.

Kritik Chamayou tidak berhenti pada aspek teknologinya saja. Ia menggugat bagaimana kekerasan kini dijalankan melalui algoritma dan sistem otomatis. Kekuasaan dijalankan tanpa suara, tanpa tatap muka, dan tanpa konsekuensi moral yang jelas. Artikel ini merujuk pada pengamatan kritis tentang dunia modern yang memfasilitasi pembunuhan secara "bersih". 

Antara Perang dan Perburuan

Chamayou menjelaskan bahwa drone tidak hanya mengaburkan batas antara perang dan pembunuhan, tapi juga menghapus konsep garis depan. Drone menyerang tanpa deklarasi perang, tanpa perlawanan dari korban, dan tanpa peringatan. Dalam pandangan ini, perang telah bertransformasi menjadi perburuan satu arah—di mana korban tidak memiliki kesempatan membela diri.

Dalam praktiknya, negara-negara besar seperti Amerika Serikat menggunakan kebijakan "signature strikes" yang tidak mengenal target secara personal. Profil mencurigakan sudah cukup untuk menjatuhkan vonis mati dari langit. Ini mengubah pendekatan militer menjadi sistem prediksi berbasis data, menjadikan perang seperti pengelolaan resiko berbasis statistik.

Dehumanisasi dalam Operasi Drone

Salah satu kritik tajam dalam Drone Theory adalah tentang dehumanisasi korban. Pilot drone tidak berada di medan perang—mereka bekerja dari pangkalan seperti di Nevada, Amerika Serikat. Dengan hanya menekan tombol, mereka bisa mengakhiri hidup seseorang ribuan kilometer jauhnya. Kehidupan manusia berubah menjadi titik panas di layar.

Pembunuhan yang dilakukan dari jarak jauh ini menghapus beban emosional pelaku. Chamayou menyatakan bahwa kita tidak lagi membunuh manusia, tapi "target". Ketika manusia hanya dilihat sebagai koordinat, maka moralitas, rasa empati, dan akuntabilitas ikut menghilang. Teknologi ini memperbesar jurang antara pelaku dan korban, sehingga tanggung jawab menjadi kabur.

Kedaulatan Negara dan Hukum Internasional

Isu lainnya yang dibahas dalam buku ini adalah pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara. Banyak serangan drone diluncurkan ke wilayah seperti Pakistan, Yaman, atau Somalia—negara yang tidak sedang dalam status perang resmi dengan negara penyerang. Serangan ini seringkali dilakukan tanpa persetujuan pemerintah lokal maupun mandat dari PBB.

Chamayou melihat hal ini sebagai bentuk "eksepsionalisme militer", di mana negara kuat bertindak seolah-olah seluruh dunia adalah medan tempur sah mereka. Tindakan ini menciptakan ruang abu-abu dalam hukum internasional, melemahkan prinsip etika global dan mengabaikan norma kedaulatan yang selama ini dijunjung dalam tatanan dunia. 

Konsep Perang Tanpa Akhir

Salah satu poin krusial Chamayou adalah hilangnya batas waktu dalam konflik berbasis drone. Berbeda dengan perang konvensional yang memiliki ujung atau momen damai, perang drone bersifat kontinyu. Algoritma dapat diperbarui, daftar target diperluas, dan perang pun berlanjut tanpa akhir. Ini bukan lagi konflik, melainkan siklus kematian administratif.

Dalam narasinya, Chamayou menyebut situasi ini sebagai bentuk "perang permanen". Medan perang bisa muncul di mana saja, dan siapa saja dapat menjadi musuh berdasarkan kategori tertentu. Perang pun menjadi bagian dari rutinitas birokrasi, bukan lagi tindakan dengan urgensi moral. Kekerasan menjadi terotomatisasi.

Netralitas Teknologi yang Dipertanyakan

Drone Theory juga menyasar mitos bahwa teknologi bersifat netral. Chamayou menyanggah pandangan liberal yang melihat inovasi sebagai solusi universal. Menurutnya, teknologi kerap lahir dari logika kekuasaan yang tidak demokratis. Drone, meskipun digadang sebagai pelindung pasukan, justru menimbulkan korban sipil yang tidak terdata.

Narasi liberal kerap menekankan efisiensi dan keamanan. Namun, Chamayou menunjukkan bahwa efisiensi tidak selalu sejalan dengan etika. Dengan menempatkan teknologi sebagai alat utama tanpa refleksi moral, masyarakat dapat terjerumus dalam ilusi bahwa kekerasan yang "bersih" adalah kekerasan yang dapat diterima.

Akuntabilitas dalam Kekuasaan Tak Terlihat

Salah satu pertanyaan mendasar yang diajukan Chamayou adalah tentang akuntabilitas. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kematian yang dimediasi oleh mesin dan algoritma? Ketika pembunuhan dilakukan tanpa pengadilan dan tanpa peringatan, hukum dan keadilan menjadi sulit ditegakkan.

Dalam sistem yang sangat terotomatisasi, pelaku seringkali bersembunyi di balik layar. Teknologi bukan hanya menutupi penderitaan korban, tapi juga menyamarkan pelaku. Ini menciptakan sistem kekuasaan yang abstrak—tak terlihat dan tak tersentuh oleh hukum. Dunia pun menghadapi dilema moral baru yang belum sepenuhnya terjawab.

Refleksi Kemanusiaan di Tengah Algoritma

Buku ini ditutup dengan refleksi filosofis mendalam: apakah kita masih memandang manusia sebagai subjek yang utuh? Dalam masyarakat yang dibanjiri teknologi, kemanusiaan terancam kehilangan makna. Chamayou menantang kita untuk meninjau ulang nilai-nilai dasar yang selama ini kita anut, terutama saat efisiensi diprioritaskan di atas nurani.

Chamayou mengajak pembaca untuk tidak hanya mempersoalkan teknologi, tapi juga cara kita memaknai kekuasaan dan kematian. Di dunia yang semakin otomatis, pertanyaan tentang empati, tanggung jawab, dan keadilan menjadi lebih penting dari sebelumnya. Apakah kita masih peduli pada nilai-nilai tersebut? Selengkapnya bisa Anda baca juga di Stanford Encyclopedia of Philosophy

Komentar

Tampilkan

Terkini